Studi: Suplemen mungkin mengandung bahan-bahan yang tidak terdaftar dan menyesatkan

Penelitian terbaru yang dipublikasikan di Analytical Science Journal yang dilakukan oleh Profesor Rosalie Hellberg dari Schmid College of Science and Technology dan mahasiswa Kaleen Harris, Diane Kim, Miranda Miranda, dan Shevon Jordan, menemukan bahwa beberapa perusahaan suplemen mungkin menyesatkan pelanggan dengan klaim kesehatan yang tidak berdasar dan bahan-bahan yang tidak tercantum.

Para peneliti berfokus pada suplemen yang dikaitkan dengan pengobatan atau pencegahan COVID-19 dan penyakit pernapasan lainnya. Selama pandemi, penggunaan suplemen makanan meningkat tajam di seluruh dunia.

"Selama pandemi, terjadi peningkatan tajam dalam pembelian dan penggunaan suplemen jenis ini. Setiap kali permintaan meningkat, kemungkinan penipuan juga meningkat," kata Profesor Rosalie Hellberg dari Schmid College of Science and Technology.

Tim Chapman University mengumpulkan 54 suplemen yang mengandung ramuan Ayurveda yang tergolong pengobatan alternatif yang berasal dari India. Mereka secara khusus memilih ramuan yang digunakan untuk pengobatan COVID-19. Ini termasuk ashwagandha, kayu manis, jahe, kunyit, tulsi, vacha, amla, guduchi dan tribulus. Semua produk dibeli secara online dan dari retailer lokal di Orange dan Los Angeles County, California.

Para peneliti menganalisis apakah mereka dapat menggunakan teknik barcode DNA untuk mengidentifikasi spesies tanaman dalam suplemen guna menentukan keaslian produk. Kode batang DNA adalah teknik yang memungkinkan ilmuwan menggunakan potongan pendek rangkaian DNA untuk mengidentifikasi spesies suatu organisme.

Hasil penelitian mengungkapkan beberapa permasalahan yang menunjukkan perlunya peningkatan pengendalian terhadap produk tersebut. Pada 60% produk, peneliti tidak menemukan bahan yang diharapkan. Namun, Hellberg tidak secara langsung mengaitkan hasil ini dengan penipuan. Metode barcode DNA, karena digunakan dalam konteks baru, mungkin memiliki kemampuan terbatas untuk mendeteksi DNA yang terdegradasi. Oleh karena itu, hasil negatif tidak serta merta membuktikan tidak adanya spesies tersebut dalam produk.

Keterbatasan lain dari metode barcode DNA adalah metode ini tidak menunjukkan jumlah jenis bahan yang terdeteksi. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memverifikasi jumlah setiap bahan, kata Hellberg.

"Jika bahan-bahan tersebut ada dalam jumlah yang lebih banyak, hal ini dapat menjadi perhatian," kata Hellberg. "Selain itu, setiap kali Anda menemukan zat yang tidak tercantum pada label, hal ini mungkin mengindikasikan adanya masalah kontrol kualitas. Hal ini juga dapat mengindikasikan risiko kesehatan lainnya atau penanganan produk yang tidak tepat."

Para peneliti juga mengidentifikasi 19 produk dengan spesies tanaman yang tidak ditentukan. Beras dan beberapa bahan lainnya digunakan sebagai isian umum. Mereka juga mengidentifikasi ramuan Ayurveda lain yang tidak tercantum pada label.

"Jadi bisa digunakan untuk tujuan penipuan," kata Hellberg. "Daripada 100% sesuai dengan yang tertera pada label, beberapa produsen mungkin menambahkan bahan pengisi karena lebih murah."

Jika jenis dan bahan yang tidak ditentukan terdapat dalam suplemen, konsumen mungkin mengonsumsi zat yang menyebabkan reaksi alergi dan risiko kesehatan lainnya. Namun, dari penelitian tidak jelas seberapa tinggi risiko ini karena peneliti tidak dapat menentukan jumlah masing-masing bahan.

"Jika bahan-bahan tersebut ada dalam jumlah yang lebih banyak, hal ini dapat menjadi perhatian," kata Hellberg. "Selain itu, setiap kali Anda menemukan zat yang tidak tercantum pada label, hal ini mungkin mengindikasikan adanya masalah kontrol kualitas. Hal ini juga dapat mengindikasikan risiko kesehatan lainnya atau penanganan produk yang tidak tepat."